BDBH FILM

Monday 29 September 2014

Sinema Bentara. kenapa demokrasi? - side story


Film adalah media yang selalu paling efektif dalam setiap kesempatan karena film seolah menjadi message (baca : penyampai pesan) yang dirasa paling mudah untuk dikonsumsi oleh masyarakat kita. contoh paling mutakhir adalah film G30 SPKI. film propaganda paling terkenal dalam sejarah perfilman indonesia diera modern. mungkin karena itu jugalah diacara (kami agak bingung menyebutnya, karena kalau kami sebut festival film, rasanya kok kurang pas dihati) ini menampilkan film dokumenter.


Nah, disini ada yang berbeda, kami datang dengan 10 maba (mahasiswa baru) dan 5 maba (mahasiswa babu). perlu diketahui kalau maba - maba ini kami dapatkan dari UKM lingkaran film dikampus kami, dengan kekerenan yang kami miliki, mereka ikut serta tanpa ada paksaan sedikit pun, zumpah ini zuzur.
Kami berangkat sore hari yang biasa aja, gak cerah, gak mendung, pokoknya biasa aja. dengan tampang kriminal kami mencoba sok cool selama diperjalanan. singkat sesingkat singkat singkatnya, kami tiba ditujuan saat senja - ceileeee. kami, dengan tampang preman ala kadarnya sadar, kalau 4 teman kami tertinggal dibelakang. yah, itu bukan salah kami, karena tampang preman tak pernah salah!!!

 Seperti biasa, kami masuk dan mengisi nama didaftar tamu, kami mengambil kopi dan cemilan sebanyak yang mampu tangan kami raih. yang diluar dugaan ada seorang maba yang ternyata membawa kresek untuk wadah cemilan! kami akui itu ide yang genius dan luar biasa hahaha oke, itu cuma bercanda. sory.
Tidak seperti biasanya, kami memilih nongkrong dulu sebelum masuk gedung, menikmati kopi dan cemilan dengan gaya parlente, seolah kami bagian dari film james bond (padahal aslinya sama aja kayak pas kita nongkrong diwarung kopi) dan movie time baru dimulai sekitar pukul 06.00 PM, kami duduk dideret 3 terdepan dengan harapan film yang diputar bisa memuaskan dahaga kami akan film yang berkualitas.
dibuka dengan film dokumenter dengan judul "Neithe Allah, Nor Master". kami melongo. bukan karena filmnya keren tapi karena film ini gak ada subtitle indonesianya (film ini dibuat di tunisia, jadi bahasanya tunisia, sub-nya pake bahasa inggris). jadi otomatis sepanjang film kami hanya menikmati sisi visualnya saja tanpa terlalu peduli isi film karena pengetahuan bahasa inggris kami yang cetek. kebodohan yang sempurna!
break time pun tiba, kami yang masih merasa pusing sehabis menterjemahkan film dengan otak kami yang ala kadarnya pun merasa sedikit bisa bernafas. setidaknya kami bisa menikmati film ini dari sisi sinematografi-nya, hibur kami.

Pada saat break time ada diskusi kecil dengan tema kenapa demokrasi?. ada seorang narasumber yang kami lupa namanya tapi kami ingat semangatnya yang berapi - api saat mempresentasikan tema diatas. awalnya kami pikir pembahasannya akan lebih ke jalur politik dan suasana yang lagi panas sekarang - DPR yang mau menghapus sistem pilgub. tapi kami selah besar (yah, kami selalu salah prediksi, saking seringnya salah, kalau main judi bola kami sering sekali menjadi loser dan berakhir dengan jidat kami penuh stempel sok tahu -_-") ternyata pembahasan lebih ke arah "kenapa demokrasi tidak bisa sepenuhnya berhasil diindonesia". mampus, tema itu berada diluar kemampuan kami yang miskin pengetahuan akan sejarah konflik bangsa ini. itu sebabnya kami tidak bisa menggambar secara gamblang tentang diskusi yang sangat menarik dan juga sukses membuat kami shocking sejenak saat tahu sejarah kelam dan gelap dari keluguan masyarakat kita. 

Malam itu kami banyak belajar singkat tentang sejarah, belajar untuk mencoba lebih dewasa dalam menyikapi masalah negara ini, mungkin kami bodoh (atau lebih tepatnya polos) untuk lebih mengerti situasi tapi kami bisa melihat setitik harapan dan secuil doa demi kebangkitan bangsa ini.

Seiring perkembangan film dinegeri ini, kalau dulu film menjadi media propaganda politik, film sekarang lebih dijadikan media sosialisasi dan punya pesan moral yang cukup mengena dihati (kecuali film sejenis menculik miyabi dan sebangsanya tentu). Film sekarang juga telah menjadi wadah untuk menuangkan aspirasi untuk menunjukkan kebenaran dengan caranya sendiri. tapi semua itu kembali kepada si "pembuat" film, akan kah film itu berkata "jujur" atau malah hanya menjadi "bualan goblog" buat kita? entahlah.



0 comments:

Post a Comment